Pages

Friday, September 14, 2012

SISTIM PENDIDIKAN ORANG DEWASA


Sahabat semua yang saya hormati, pada kesempatan ini saya ingin berbagi pengetahuan melalui postingan ini, semoga kunjungan anda disini semua dalam keadaan sehat wal'afiat, selamat Datang semua.... semoga Tuhan yang maha Kuasa selalu memberkahi anda semua. Sebagai rasa kebersamaan kita postingan ini saya Mengambil Judul tentang Sistim pendidikan Orang Dewasa. Dalam sistim penyuluhan perikanan yang dikenal sebagai sistim pendidikan non formal yang dapat diterapkan kepada kelompok atau masyarakat, tentu saja menggunakan berbagai methode Penyuluhan  yang dalam pelaksanaannya perlu dengan menggunakan Prinsip pendidikan orang dewasa yang juga  disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Pada postingan kali ini kita akan memberikan informasi pengetahuan dan membahas mengenai sistim pendidikan orang Dewasa dalam proses pembelajaran,  karena untuk  merubah perilaku ditungkat pengetahuan, ketrampilan maupun sikap terhadap peningkatan kemampuan masyarakat melalui kelompok tentu diperlukan methode yang tepat yaitu dengan prinsip pendidikan Orang dewasa, sehingga apa yang menjadi visi dan misi untuk merubah perilaku tersebut dapat diterima oleh kelompok sebagai anggota dalam masyarakat. Dalam pelaksanaannya kita tetap juga harus mengenal Sistim pembelajarannya, dengan methode apa yang sesuai, selain juga menggunakan dan melakukan Implementasi Prnsip-prinsip pendidikan orang dewasa, karena Pada dasarnya "orang dewasa" memiliki banyak pengalaman baik dalam bidang pekerjaannya maupun pengalaman lain dalam kehidupannnya.  Tentu saja untuk menghadapi Kelompok sebagai peserta masyarakat yang memimliki  pendidikan yang pada umumnya adalah "orang dewasa" dibutuhkan suatu strategi dan methode pendekatan yang berbeda dengan "pendidikan dan pelatihan" ala bangku sekolah, atau pendidikan konvensional yang sering disebut dengan pendekatan Pedagogis. Dalam  praktek "pendekatan pedagogis" yang diterapkan dalam pendidikan dan pelatihan seringkali tidak cocok. Untuk itu, dibutuhkan suatu pendekatan yang lebih cocok dengan "kematangan", "konsep diri" peserta dan "pengalaman peserta". Di dalam dunia pendidikan, strategi dan pendekatan ini dikenal dengan sistim "Pendidikan Orang Dewasa" (Adult Education).


Pengertian
Malcolm Knowles
dalam publikasinya yang berjudul "The Adult Learner, A Neglected Species" mengungkapkan teori belajar yang tepat bagi orang dewasa. Sejak saat itulah istilah "Andragogi" makin diperbincangkan oleh berbagai kalangan khususnya para ahli pendidikan. 
Andragogi berasal dari bahasa Yunani kuno "aner", dengan akar kata andr- yang berarti laki-laki, bukan anak laki-laki atau orang dewasa, dan agogos yang berarti membimbing atau membina, maka andragogi secara harafiah dapat diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Sedangkan  istilah lain yang sering dipergunakan sebagai perbandingan adalah "pedagogi", yang ditarik dari kata "paid" artinya anak dan "agogos" artinya membimbing atau memimpin. Maka dengan demikian secara harafiah "pedagogi" berarti seni atau pengetahuan membimbing atau memimpin atau mengajar anak.
Karena pengertian pedagogi adalah seni atau pengetahuan membimbing atau mengajar anak maka apabila menggunakan istilah pedagogi untuk kegiatan pelatihan bagi orang dewasa jelas tidak tepat, karena mengandung makna yang bertentangan. Pada awalnya, bahkan hingga sekarang, banyak praktek proses belajar dalam suatu pendidikan yang ditujukan kepada orang dewasa, yang seharusnya bersifat andragogis, dilakukan dengan cara-cara yang pedagogis. Dalam hal ini prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan pendidikan bagi orang dewasa. 
Namun karena orang dewasa sebagai individu yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, maka dalam andragogi yang terpenting dalam proses interaksi belajar adalah kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri dan bukan merupakan kegiatan seorang guru mengajarkan sesuatu (Learner Centered Training / Teaching)


Asumsi-Asumsi Pokok
Malcolm Knowles dalam mengembangkan konsep andragogi, mengembangkan empat pokok asumsi sebagai berikut:

Konsep Diri
Asumsinya bahwa kesungguhan dan kematangan diri seseorang, bergerak dari ketergantungan total (realita pada bayi) menuju ke arah pengembangan diri sehingga mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dan mandiri. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa secara umum konsep diri anak-anak masih tergantung sedangkan pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian inilah orang dewasa membutuhkan untuk mendapatkan penghargaan orang lain sebagai manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri (Self Determination) dan mampu mengarahkan dirinya sendiri (Self Direction). Apabila orang dewasa tidak menemukan dan menghadapi situasi dan kondisi yang memungkinkan timbulnya penentuan diri sendiri dalam suatu pelatihan, maka akan menimbulkan penolakan atau reaksi yang kurang menyenangkan. Orang dewasa juga mempunyai kebutuhan psikologis agar secara umum menjadi mandiri, meskipun dalam situasi tertentu boleh jadi ada ketergantungan yang sifatnya sementara.

Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta proses perencanaan pendidikan.

Peranan Pengalaman
Asumsinya adalah bahwa sesuai dengan perjalanan waktu seorang individu tumbuh dan berkembang menuju ke arah kematangan. Dalam perjalanannya, seorang individu mengalami dan mengumpulkan berbagai pengalaman pahit-getirnya kehidupan, dimana hal ini menjadikan seorang individu sebagai sumber belajar yang kaya, dan pada saat yang bersamaan individu tersebut memberikan dasar yang luas untuk belajar dan memperoleh pengalaman baru. Oleh sebab itu, dalam teknologi pembelajaran orang dewasa, terjadi penurunan penggunaan teknik transmittal seperti yang dipergunakan dalam pelatihan konvensional dan menjadi lebih mengembangkan teknik yang bertumpu pada pengalaman. Dalam hal ini dikenal dengan "Experiential Learning Cycle" (Proses Belajar Berdasarkan Pengalaman).

Hal ini menimbulkan implikasi terhadap pemilihan dan penggunaan metoda dan teknik pembelajaran. Maka, dalam praktek pelatihan lebih banyak menggunakan diskusi kelompok, curah pendapat, kerja laboratori, sekolah lapangan (field school), melakukan praktek dan lain sebagainya, yang pada dasarnya berupaya untuk melibatkan peranserta atau partisipasi peserta pelatihan.

Kesiapan Belajar
Asumsinya bahwa setiap individu semakin menjadi matang sesuai dengan perjalanan waktu, maka kesiapan belajar bukan ditentukan oleh kebutuhan atau paksaan akademik ataupun biologisnya, tetapi lebih banyak ditentukan oleh tuntutan perkembangan dan perubahan tugas dan peranan sosialnya.
Hal ini berbeda pada seorang anak, umumnya seorang anak belajar karena adanya tuntutan akademik atau biologisnya. Tetapi pada orang dewasa, kesiapan belajar ditentukan oleh tingkatan perkembangan mereka yang harus dihadapi dalam peranannya sebagai kader, pekerja, orang tua atau pemimpin organisasi.
Hal ini membawa implikasi terhadap materi pembelajaran dalam suatu pendidikan tertentu. Dalam hal ini tentunya materi pembelajaran perlu disesuaikan dengan kebutuhan yang sesuai dengan peran sosialnya.

Orientasi Belajar
Asumsinya, pada anak (yang belajar) orientasi belajarnya ‘seolah-olah’ sudah ditentukan dan dikondisikan untuk memiliki orientasi yang berpusat pada materi pembelajaran (Subject Matter Centered Orientation). Sedangkan pada orang dewasa, memiliki orientasi belajar cenderung berpusat pada pemecahan permasalahan yang dihadapi (Problem Centered Orientation). Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa merupakan kebutuhan untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan keseharian, terutama dalam kaitannya dengan fungsi dan peranan sosial orang dewasa.

Selain itu, perbedaan asumsi ini disebabkan juga karena adanya perbedaan perspektif waktu. Bagi orang dewasa, belajar lebih bersifat untuk dapat dipergunakan atau dimanfaatkan dalam waktu segera. Sedangkan anak, penerapan apa yang dipelajari masih menunggu waktu hingga dia lulus dan sebagainya. Sehingga ada kecenderungan pada anak, bahwa belajar hanya sekedar untuk dapat lulus ujian dan memperoleh sekolah yang lebih tinggi.

Hal ini menimbulkan implikasi terhadap sifat materi pembelajaran atau pelatihan bagi orang dewasa, yaitu bahwa materi tersebut hendaknya bersifat praktis (menjawab kebutuhan) dan dapat segera diterapkan di dalam kenyataan sehari-hari.

Beberapa Implikasi Untuk Praktek
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan sementara beberapa perbedaan teoritis dan asumsi yang mendasari andragogi dan pedagogi (konvensional) yang menimbulkan berbagai implikasi dalam praktek.
Dalam pedagogi atau konsep pendidikan konvensional, karena berpusat pada materi pembelajaran (Subject Matter Centered Orientation) maka implikasi yang timbul pada umumnya peranan guru, pengajar, pembuat kurikulum, evaluator sangat dominan. Pihak murid atau peserta belajar lebih banyak bersifat pasif dan menerima. Paulo Freire, menyebutnya sebagai "Sistem Bank" (Banking System). Hal ini dapat terlihat pada hal-hal sebagai berikut:
  1. Penentuan mengenai materi pengetahuan dan ketrampilan yang perlu disampaikan yang bersifat standard dan kaku.
  2. Penentuan dan pemilihan prosedur dan mekanisme serta alat yang perlu (metoda & teknik) yang paling efisien untuk menyampaikan materi pembelajaran.
  3. Pengembangan rencana dan bentuk urutan (sequence) yang standard dan kaku
  4. Adanya standard evaluasi yang baku untuk menilai tingkat pencapaian hasil belajar dan bersifat kuantitatif yang bersifat untuk mengukur tingkat pengetahuan.
  5. Adanya batasan waktu yang demikian ketat dalam "menyelesaikan" suatu proses pembelajaran materi pengetahuan dan ketrampilan.

Dalam andragogi, peranan guru, pengajar atau pembimbing yang sering disebut dengan fasilitator adalah mempersiapkan perangkat atau prosedur untuk mendorong dan melibatkan secara aktif seluruh warga belajar, yang kemudian dikenal dengan pendekatan partisipatif. Dalam  proses belajarnya melibatkan elemen-elemen:
  1. Menciptakan iklim dan suasana yang mendukung proses belajar mandiri.
  2. Menciptakan mekanisme dan prosedur untuk perencanaan bersama dan partisipatif.
  3. Diagnosis kebutuhan-kebutuhan belajar yang spesifik.
  4. Merumuskan tujuan-tujuan program yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan belajar.
  5. Merencanakan pola pengalaman belajar.
  6. Melakukan dan menggunakan pengalaman belajar ini dengan metoda dan teknik yang memadai.
  7. Mengevaluasi hasil belajar dan mendiagnosis kembali kebutuhan-kebutuhan belajar, sebagai sebuah proses yang tidak berhenti.

Oleh karena itu, dalam memproses interaksi belajar dalam pendidikan orang dewasa, kegiatan dan peranan fasilitator bukanlah memindahkan pengetahuan dan ketrampilan kepada peserta pelatihan. Peranan dan fungsi fasilitator adalah mendorong dan melibatkan seluruh peserta dalam proses interaksi belajar mandiri, yaitu proses belajar untuk memahami permasalahan nyata yang dihadapinya, memahami kebutuhan belajarnya sendiri, dapat merumuskan tujuan belajar, dan mendiagnosis kembali kebutuhan belajarnya sesuai dengan perkembangan yang terjadi dari waktu ke waktu.
Dengan begitu maka tugas dan peranan fasilitator bukanlah memaksakan program atau kurikulum dari atas atau dari NGO  yang dibuat di balik meja –yang berjarak/terlepas – dari  kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi peserta belajar.

Langkah-Langkah Pokok Dalam Proses belajar  Partisipatif (Andragogi)
Berdasarkan pada implikasi andragogi untuk praktek dalam proses pembelajaran kegiatan pelatihan, maka perlu ditempuh langkah-langkah pokok sebagai berikut:

1.    Menciptakan Iklim Pembelajaran yang Kondusif
Ada beberapa hal pokok yang dapat dilakukan dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim dan suasana yang kondusif untuk proses pembelajaran, yaitu:

Pengaturan Lingkungan Fisik
Pengaturan lingkungan fisik merupakan salah satu unsur dimana orang dewasa merasa terbiasa, aman, nyaman dan mudah. Untuk itu perlu dibuat senyaman mungkin:
  1. Penataan dan peralatan hendaknya disesuaikan dengan kondisi orang dewasa.
  2. Alat peraga dengar dan lihat yang dipergunakan hendaknya disesuaikan dengan kondisi fisik orang dewasa.
  3. Penataan ruangan, pengaturan meja, kursi dan peralatan lainnya hendaknya memungkinkan terjadinya interaksi sosial.
Pengaturan Lingkungan Sosial dan Psikologis
Iklim psikologis hendaknya merupakan salah satu faktor yang membuat orang dewasa merasa diterima, dihargai dan didukung. Untuk itu diperlukan:
1.       Fasilitator lebih bersifat membantu dan mendukung.
2.       Mengembangkan suasana bersahabat, informal dan santai.
3.       Menciptakan suasana demokratis dan kebebasan untuk menyatakan pendapat tanpa rasa takut.
4.       Mengembangkan semangat kebersamaan.
5.       Menghindari adanya pengarahan dari siapapun.
6.       Menyusun kontrak belajar yang disepakati bersama

2.    Diagnosis Kebutuhan Belajar
Dalam andragogi tekanan lebih banyak diberikan pada keterlibatan seluruh warga/peserta belajar di dalam suatu proses melakukan diagnosis kebutuhan belajarnya:
  1. Melibatkan seluruh pihak terkait (stakeholder) terutama pihak yang terkena dampak langsung atas kegiatan itu.
  2. Membangun dan mengembangkan suatu model kompetensi atau prestasi ideal yang diharapkan
  3. Menyediakan berbagai pengalaman yang dibutuhkan.
  4. Lakukan perbandingan antara yang diharapkan dengan kenyataan yang ada, misalkan kompetensi tertentu.

3.    Proses Perencanaan
Dalam perencanaan pendidikan hendaknya melibatkan semua pihak terkait, terutama yang akan terkena dampak langsung atas kegiatan pendidikan tersebut. Tampaknya ada suatu "hukum" atau setidak tidaknya suatu kecenderungan dari sifat manusia bahwa mereka akan merasa 'committed' terhadap suatu keputusan apabila mereka terlibat dan berperanserta dalam pengambilan keputusan. Untuk itu diperlukan:
  1. Libatkan peserta untuk menyusun rencana pendidikan, baik yang menyangkut penentuan materi pembelajaran, penentuan waktu dan lain-lain.
  2. Temuilah dan diskusikanlah segala hal dengan berbagai pihak terkait menyangkut pendidikan tersebut.
  3. Terjemahkan kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi ke dalam tujuan yang diharapkan dan ke dalam materi belajar.
  4. Tentukan pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas di antara pihak terkait siapa melakukan apa dan kapan.

4.    Memformulasikan Tujuan
Setelah menganalisis hasil-hasil identifikasi kebutuhan dan permasalahan yang ada, langkah selanjutnya adalah merumuskan tujuan yang disepakati bersama dalam proses perencanaan partisipatif. Dalam merumuskan tujuan hendaknya dilakukan dalam bentuk deskripsi tingkah laku yang akan dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas. Dalam setiap proses belajar, tujuan belajar hendaklah mencakup tiga hal pokok yakni: kognitif, afektif, dan psikomotorik.

5.    Mengembangkan Model Umum
Ini merupakan aspek seni dan arsitektural dari perencanaan pendidikan dimana harus disusun secara harmonis antara beberapa kegiatan belajar seperti kegiatan diskusi kelompok besar, kelompok kecil, urutan materi dan lain sebagainya. Dalam hal ini tentu harus diperhitungkan pula kebutuhan waktu dalam membahas satu persoalan dan penetapan waktu yang sesuai.

6.    Menetapkan Materi dan Teknik Pembelajaran
Dalam menetapkan materi dan metoda atau teknik pembelajaran hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
  1. Materi pembelajaran hendaknya ditekankan pada pengalaman-pengalaman nyata dari peserta belajar.
  2. Materi belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan berorientasi pada aplikasi praktis. Bukan berarti materi yang disusun hanya bersifat pragmatis.
  3. Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya menghindari teknik yang bersifat pemindahan pengetahuan dari fasilitator kepada peserta, tetapi akan lebih baik jika bersifat mendorong ketajaman analisis dan metodologi.
  4. Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya tidak bersifat satu arah namun lebih bersifat partisipatif, atau dalam bahasa Freire “dialogis”.

7.    Peranan Evaluasi
Pendekatan evaluasi secara konvensional (pedagogi) kurang efektif untuk diterapkan bagi orang dewasa. Untuk itu pendekatan ini tidak cocok dan tidaklah cukup untuk menilai hasil belajar orang dewasa. Ada beberapa pokok dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar bagi orang dewasa yakni:
  1. Evaluasi hendaknya berorientasi kepada pengukuran perubahan perilaku setelah mengikuti proses pembelajaran / pelatihan.
  2. Sebaiknya evaluasi dilaksanakan melalui pengujian terhadap dan oleh peserta belajar itu sendiri (Self Evaluation).
  3. Perubahan positif perilaku merupakan tolok ukur keberhasilan.
  4. Ruang lingkup materi evaluasi "ditetapkan bersama secara partisipatif" atau berdasarkan kesepakatan bersama seluruh pihak terkait yang terlibat.
  5. Evaluasi ditujukan untuk menilai efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan program pendidikan yang mencakup kekuatan maupun kelemahan program.
Menilai efektifitas materi yang dibahas dalam kaitannya dengan perubahan sikap dan perilaku.
Demikian semoga saja ada manfaatnya.



Terima kasih. 

Artikel terkaitlainnya:




Sumber Referensi:
Diklat,BAKORLUH, Propinsi Bengkulu, dalam rangka Peningkatan SDM apaaratur pertanian, Kelautan dan perikanan

PRINSIP PENDIDIKAN ORANG DEWASA

Sahabat semua yang saya hormati, ..........
Dalam melaksanakan Pendidikan orang dewasa kita perlu memiliki prinsip terutama dalam proses pembelajarannya yang diterapkan kepada masyarakat. Sebagaimana yang diketahui bahwa Penyuluhan  perikanan adalah suatu sistem pendidikan non formal yang diberikan kepada masyarakat melalui sistim kelompok dalam rangka pemberdayaan, untuk merubah perilaku dibidang pengetahuan, ketrampilan maupun sikap. Dalam Proses Penyuluhan Perikanan seorang Penyuluh tentu saja akan melakukan aktifitasnya untuk memberikan Pengeatuan Kepada masyarakat (sebagai sasaran), yaitu dengan menggunakan  Metode yang siberikan juga tidak seperti kepada para anak2, remaja ataupun lainnya, tapi perlu menggunakan Prinsip-prinsip pendidikan orang Dewasa. “Pendidikan” mempunyai banyak pengertian, tetapi secara umum dapat diterima sebagai suatu perubahan perilaku. postingan dalam artikel yang  dimaksudkan bukan untuk menganalisa teori yang ada dibalik Pendidikan Orang Dewasa, melainkan untuk memahami prinsip-prinsip Pendidikan Orang Dewasa (atau yang biasa disingkat POD) yang dapat diterima. Prinsip-prinsip yang disajikan di sini pada dasarnya sama dengan yang dikembangkan pada beberapa pelatihan yang menggunakan metode instruksional, tetapi satu hal yang membedakan adalah prinsip-prinsip POD lebih dikenal secara luas.


Prinsip-prinsip ini berkaitan dengan training (pelatihan) dan pendidikan, dan biasanya diterapkan pada situasi kelas formal atau untuk sistem on the job training (magang). Tiap bentuk pelatihan sebaiknya memuat sebanyak mungkin 9 prinsip yang tersebut di bawah ini. Supaya kita mudah mengingatnya (9 prinsip tersebut), maka biasanya digunakn sistem jembatan keledai atau istilah asingnya mnemonic, yaitu RAMP 2 FAME.
R = Recency
A = Appropriateness
M = Motivation
P = Primacy
2 = 2 – Way Communication
F = Feedback
A = Active Learning
M = Multi – Sense Learning
E = Excercise

Prinsip-prinsip ini dalam berbagai cara sangat penting, karena memungkinkan (bagi pelatih) untuk menyiapkan satu sessi secara tepat dan memadai, menyajikan sessi secara efektif dan efisien, juga memungkinkan untuk melakukan evaluasi untuk sessi tersebut. Mari kita coba lihat ide-ide yang melatar belakangi istilah RAMP 2 FAME. Penting untuk dicatat bahwa prinsip-prinsip ini tidak disajikan dalam satu urutan. Kedudukannya sama dalam satu kaitan antar hubungan.

R – RECENCY
Hukum dari Recency menunjukkan kepada kita bahwa sesuatu yang dipelajari atau diterima pada saat terakhir adalah yang paling diingat oleh peserta/ partisipan. Ini menunjukkan dua pengertian yang terpisah di dalam pendidikan. Pertama, berkaitan dengan isi (materi) pada akhir sessi dan kedua berkaitan dengan sesuatu yang “segar” dalam ingatan peserta. Pada aplikasi yang pertama, penting bagi pelatih untuk membuat ringkasan (summary) sesering mungkin dan yakin bahwa pesan-pesan kunci/inti selalu ditekankan lagi di akhir sessi. Pada aplikasi kedua, mengindikasikan kepada pelatih untuk membuat rencana kaji ulang (review) per bagian di setiap presentasinya.

Faktor-faktor untuk pertimbangan tentang recency
  1. Usahakan agar tiap sessi yang diberikan berjangka waktu yang relatif pendek, tidak lebih dari 20 menit (jika itu memungkinkan).
  2. Jika sessi lebih dari 20 menit, harus sering diringkas (direkap). Sessi yang lebih panjangsebaiknya dibagi-bagi ke dalam sessi-sessi yang lebih pendek dengan beberapa jeda sehingga anda dapat membuat ringkasan.
  3. Akhir dari tiap sessi merupakan suatu yang penting. Buatlah ringkasan/rekap dari keseluruhan sessi dan beri penekanan pada pesan-pesan atau poin-poin kunci.
  4. Upayakan agar peserta/partisipan tetap “sadar” kemana arah dan perkembangan dari belajar mereka

A : APPROPRIATENES (Kesesuaian)
Hukum dari appropriatenes atau kesesuaian mengatakan kepada kita bahwa secara keseluruhan, baik itu pelatihan, informasi, alat-alat bantu yang dipakai, studi kasus -studi kasus, dan material-material lainnya harus disesuaikan dengan kebutuhan peserta/partisipan. Peserta akan mudah kehilangan motivasi jika pelatih gagal dalam mengupayakan agar materi relevan dengan kebutuhan mereka. Selain itu, pelatih harus secara terus menerus memberi kesempatan kepada peserta untuk mengetahui bagaimana keterkaitan antara informasi-informasi baru dengan pengetahuan sebelumnya yang sudah diperolah peserta, sehingga kita dapat menghilangkan kekhawatiran tentang sesuatu yang masih samar atau tidak diketahui.

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan mengenai appropriatness :
1. Pelatih harus secara jelas mengidentifikasi satu kebutuhan bagi peserta agar mengambil bagian dalam pelatihan. Dengan kebutuhan yang teridentifikasi, pelatih harus yakin bahwa sehala sesuatu yang berhubungan dengan sessi sesuai dengan kebutuhan tersebut.
2.  Gunakan deskripsi, contoh-contoh atau ilustrasi-ilustrasi yang akrab (familiar) dengan peserta.


M: MOTIVATION (motivasi)
Hukum dari motivasi mengatakan kepada kita bahwa pastisipan/peserta harus punya keinginan untuk belajar, dia harus siap untuk belajar, dan harus punya alasan untuk belajar. Pelatih menemukan bahwa jika peserta mempunyai motivasi yang kuat untuk belajar atau rasa keinginan untuk berhasil, dia akan lebih baik dibanding yang lainnya dalam belajar. Pertama-tama karena motivasi dapat menciptakan lingkungan (atmosphere) belajar menjadi menye-nangkan. Jika kita gagal menggunakan hukum kesesuaian (appropriateness) tersebut dan mengabaikan untuk membuat material relevan, kita akan secara pasti akan kehilangan motivasi peserta.

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan mengenai motivasi:
  1. Material harus bermakna dan berharga bagi peserta, tidak hanya bagi pelatih
  2. Yang harus termotivasi bukan hanya peserta tetapi juga pelatih itu sendiri. Sebab jika pelatih tidak termotivasi, pelatihan mungkin akan tidak menarik dan bahkan tidak mencapai tujuan yang diinginkan.
  3. Seperti yang disebutkan dalam hukum kesesuaian (appropriateness), pelatih suatu ketika perlu mengidentifikasi satu kebutuhan kenapa peserta datang ke pelatihan. Pelatih biasanya dapat menciptakan motivasi dengan mengatakan bahwa sessi ini dapat memenuhi kebutuhan peserta.
  4. Bergeraklah dari sisi tahu ke tidak tahu. Awali sessi dengan hal-hal atau poin-poin yang sudah akrab atau familiar bagi peserta. Secara perlahan-lahan bangun dan hubungkan poin-poin bersama sehingga setiap tahu kemana arah mereka di dalam proses pelatihan.


P : PRIMACY (Menarik Perhatian di awal sessi)
Hukum dari primacy mengatakan kepada kita bahwa hal-hal yang pertama bagi peserta biasanya dipelajari dengan baik, demikian pula dengan kesan pertama atau serangkaian informasi yang diperoleh dari pelatih betul-betul sangat penting. Untuk alasan ini, ada praktek yang bagus yaitu dengan memasukkan seluruh poin-poin kunci pada permulaan sessi. Selama sessi berjalan, poin-poin kunci berkembang dan juga informasi-informasi lain yang berkaitan. Hal yang termasuk dalam hukum primacy adalah fakta bahwa pada saat peserta ditunjukkan bagaimana cara mengerjakan sesuatu, mereka harus ditunjukkan cara yang benar di awalnya. Alasan untuk ini adalah bahwa kadang-kadang sangat sulit untuk “tidak mengajari” peserta pada saat mereka membuat kesalahan di permulaan latihan.

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan mengenai primacy:
  1. Sekali lagi, upayakan sessi-sessi diberikan dalam jangka waktu yang relatif singkat. Sebaiknya sekitar 20 menit seperti yang disarankan dalam hukum recency.
  2. Permulaan sessi anda akan sangat penting. Seperti yang anda ketahui bahwa sebagian banyak peserta akan mendengarkan, dan oleh karena itu buatlah semenarik mungkin dan beri muatan informasi-informasi penting ke dalamnya.
  3. Usahakan agar peserta selalu “sadar” arah dan perkembangan dari belajarnya.
  4. Yakinkan peserta akan memperoleh hal-hal yang tepat pada saat anda pertama kali meminta mereka melakukan sesuatu
 
2 : 2- WAY COMMUNICATION (Komunikasi 2 arah)
Hukum dari 2-way-communication atau komunikasi 2 arah secara jelas menekankan bahwa proses pelatihan meliputi komunikasi dengan peserta, bukan pada mereka. Berbagai bentuk penyajian sebaiknya menggunakan prinsip komunikasi 2 arah atau timbal balik. Ini tidak harus bermakna bahwa seluruh sessi harus berbentuk diskusi, tetapi yang memungkinkan terjadinya interaksi di antara pelatih/fasilitator dan peserta/partisipan.

Faktor-faktor untuk pertimbangan mengenai 2-way communication:
Bahasa tubuh anda juga berkaitan dengan komunikasi 2 arah: anda harus merasa yakin bahwa itu tidak bertentangan dengan apa yang anda katakan.
Rencana sessi anda sebaiknya memiliki interaksi dengan siapa itu dirancang, yaitu tak lain adalah peserta.


F: FEEDBACK (Umpan Balik)
Hukum dari feedback atau umpan balik menunjukkan kepada kita, baik fasilitator dan peserta membutuhkan informasi satu sama lain. Fasilitator perlu mengetahui bahwa peserta mengikuti dan tetap menaruh perhatian pada apa yang disampaikan, dan sebaliknya peserta juga membutuhkan umpan balik sesuai dengan penampilan/kinerja mereka.
Penguatan juga membutuhkan umpan balik. Jika kita menghargai peserta (penguatan yang positif) untuk melakukan hal-hal yang tepat, kita mempunyai kesempatan yang jauh lebih besar agar mereka mengubah perilakunya seperti yang kita kehendaki. Waspada juga bahwa terlalu banyak penguatan negatif mungkin akan menjauhkan kita memperoleh respon yang kita harapakan.

Faktor-faktor untuk pertimbangan mengenai feedback:
  1. Peserta harus diuji (dites) secara berkala untuk umpan balik bagi fasilitator
  2. Pada saat peserta dites, mereka harus memperoleh umpan balik tentang penampilan mereka sesegera mungkin.
  3. Tes bisa juga meliputi pertanyaan-pertanyaan yang diberikan fasilitator secara berkala mengenai kondisi kelompok
  4. Semua umpan balik tidak harus berupa yang positif, seperti yang dipercaya banyak orang. Umpan balik positif hanya setengah dari itu dan hampir tidak bermanfaat tanpa adanya umpan balik negatif
  5. Pada saat peserta berbuat atau berkata benar (misal menjawab pertanyaan), sebut atau umumkan itu (di hadapan kelompok/peserta lain jika itu mungkin).
  6. Persiapkan penyajian anda sehingga ada penguatan positif yang terbangun di awal sessi.
  7. Perhatikan betul-betul peserta yang memberi umpan balik positif (berbuat betul) sama halnya kepada mereka yang memberi umpan balik negatif (melakukan kesalahan).

A : ACTIVE LEARNING (Belajar Aktif)
Hukum dari active learning menunjukkan kepada kita bahwa peserta belajar lebih giat jika mereka secara aktif terlibat dalam proses pelatihan. Ingatkah satu peribahasa yang mengatakan “Belajar Sambil Bekerja” ? Ini penting dalam pelatihan orang dewasa. Jika anda ingin memerintahkan kepada peserta agar menulis laporan, jangan hanya memberitahu mereka bagaimana itu harus dibuat tetapi berikan kesempatan agar mereka melakukannya. Keuntungan lain dari ini adalah orang dewasa umumnya tidak terbiasa duduk seharian penuh di ruangan kelas, oleh karena itu prinsip belajar aktif ini akan membantu mereka supaya tidak jenuh.

Faktor-faktor untuk pertimbangan mengenai active learning:
1.       Gunakan latihan-latihan atau praktek selama memberikan instruksi
2.       Gunakan banyak pertanyaan selama memberikan instruksi
3.       Sebuah kuis cepat dapat digunakan supaya peserta tetap aktif
4.       Jika memungkinkan, biarkan peserta melakukan apa yang ada dalam instruksi

Jika peserta dibiarkan duduk dalam jangka waktu lama tanpa berpartisipasi atau diberi pertanyaan-pertanyaan, kemungkinan mereka akan mengantuk /kehilangan perhatian.

M : MULTIPLE -SENSE LEARNING
Hukum dari multi- sense learning mengatakan bahwa belajar akan jauh lebih efektif jika partisipan menggunakan lebih dari satu dari kelima inderanya. Jika anda memberitahu trainee mengenai satu tipe baru sandwich mereka mungkin akan mengingatnya. Jika anda membiarkan mereka menyentuh, mencium dan merasakannya dengan baik, tak ada jalan bagi mereka untuk melupakannya.

Faktor-faktor untuk pertimbangan mengenai multiple-sense learning:
  1. Jika anda memberitah/mengatakan sesuatu kepada peserta, cobalah untuk menunjukkannya dengan baik
  2. Gunakan sebanyak mungkin indera peserta jika itu perlu sebagai sarana belajar mereka, tetapi jangan sampai lupa sasaran yang ingin dicapai
  3. Ketika menggunakan multiple-sense learning, anda harus yakin bahwa tidak sulit bagi kelompok untuk mendengarnyaa, melihat dan menyentuh apapun yang anda inginkan.

Saya dengar dan saya lupa
Saya lihat dan saya ingat
Saya lakukan dan saya paham
(Confusius, 450 SM)

E. EXERCISE (Latihan)
Hukum dari latihan mengindikasikan bahwa sesuatu yang diulang-ulang adalah yang paling diingat. Dengan membuat peserta melakukan latihan atau mengulang informasi yang diberikan, kita dapat meningkatkan kemungkinan mereka semakin mampu mengingat informasi yang sudah diberikan. Yang terbaik adalah jika pelatih menambah latihan atau mengulangi pelajaran dengan mengulang informasi dalam berbagai cara yang berbeda. Mungkin pelatih dapat membicarakan mengenai suatu proses baru, lalu menunjukkan diagram/overhead, menunjukkan produk yang sudah jadi dan akhirnya minta kepada peserta untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Latihan juga menyangkut intensitas. Hukum dari latihan juga mengacu pada pengulangan yang berarti atau belajar ulang.

Faktor-faktor untuk pertimbangan dalam exercise:
  1. Semakin sering trainee mengulang sesuatu, semakin mereka mengingat informasi yang diberikan
  2. Dengan memberikan pertanyaan berulang-ulang kita meningkatkan latihan
  3. Peserta harus mengulang latihannya sendiri, tetapi mencatat tidak termasuk di dalamnya
  4. Ringkaslah sesering mungkin karena ini bentuk lain dari latihan. Buatlah selalu ringkasan saat menyimpulkan sessi
  5. Buat peserta selalu ingat secara berkala apa yang telah sidajikan sedemikian jauh dalam presentasi
  6. Sering disebutkan bahwa tanpa beberapa bentuk latihan, peserta akan melupakan 1/4 dari yang mereka pelajari dalam 6 jam, 1/3 dalam 24 jam, dan sekitar 9 % dalam 6 minggu.



Kesimpulan
Prinsip-prinsip dari belajar berkaitan kepada pelatihan dan pendidikan. Prinsip-prinsip tersebut digunakan di seluruh sektor/area, baik dalam ruang kelas atau sistem magang. Prinsip-prinsip ini dapat digunakan kepada anak-anak dan remaja sebaik kepada orang dewasa. Instruksi yang efektif harus menggunakan sebanyak mungkin prinsip-prinsip ini, jika tidak keseluruhan-nya. Pada saat anda merencanakan satu sessi, lihat keseluruhan draft untuk meyakinkan bahwa prinsip-prinsip telah digunakan dan jika tidak, mungkin perlu suatu revisi (perbaikan).

Demikian semoga bermanfaat
Terima kasih


Artikel terkait lainnya:




Sumber Referensi:
Diklat,BAKORLUH, Propinsi Bengkulu, dalam rangka Peningkatan SDM apaaratur pertanian, Kelautan dan perikanan